Blogger Widgets

Pede Atau Egois?

Pendapat para ahli yang diilhami kenyataan menyimpulkan bahwa rasa percaya diri atau sering diistilahkan dengan "pede" merupakan kualitas personal yang dibutuhkan. Dengan merasa pede berarti kita sudah memulai perjalanan hidup yang berlandaskan pada keunggulan-diri, arah kiblat (direction) yang sudah kita tentukan, fokus hidup yang telah kita pilih, keputusan hidup yang telah kita ambil dan kemudian membuat kita merasa punya hak untuk mendapatkan apa yang benar-benar kita inginkan. Kekuatan pede juga membuat kita yakin bahwa tantangan apapun yang menghadang masih berada dalam kapasitas kita untuk diselesaikan.

Tetapi dalam praktek, kata pede sudah mengalami "over-used" dan tidak jarang didefinisikan secara kabur antara pede yang kita butuhkan dan pede yang seharusnya tidak kita miliki (penyimpangan). Orang sering salah mengalamatkan penilaian antara pede dengan ego-centered (egoisme), menang sendiri atau merasa benar sendiri. Padahal kalau kita telusuri sampai ke akar, perbedaan antara pede yang menyimpang dan pede yang lurus (self confidence) bukan karena persoalan kadar melainkan murni berbeda di tingkat sumber motif. Artinya, baik praktek perilaku, sifat, dan sikap egois bukanlah karena kadar rasa percaya diri yang terlalu kuat melainkan justru karena kurang dari kadar yang dibutuhkan dan akhirnya menyimpang.
Motif

Pede yang menyimpang berangkat dari sumber motif berupa perasaan yang merasa kurang (feeling of lack) secara berlebihan (excessive). Ketika orang membangun asumsi dasar tentang dirinya bahwa ia tidak memiliki kemampuan potensial yang cukup untuk diolah menjadi keunggulan guna mengalahkan tantangan atau meraih apa yang benar-benar diinginkan, maka perasaan tersebut pada kadar yang terus dibiarkan akan menggumpal bersama keyakinan bahwa untuk mendapatkan seseuatu tidak ada jalan lain lagi kecuali mengambil dari luar. Keyakinan demikian akan menghasilkan praktek yang bertabrakan dengan kepentingan orang lain yang memiliki keyakinan serupa. Di level internal, keyakinan demikian sering membuat orang merasa tidak punya alasan untuk menghargai dirinya secara positif, misalnya saja munculnya perasaan self-laziness atau "The 'I cannot' attitude".
Pede yang yang menyimpang (contoh: ego-centered, dll.) juga berangkat dari sumber perasaan yang merasa takut secara berlebihan (feeling of fear). Asumsi personal yang sering dipakai adalah ketika kita mulai merasa bahwa sumber keamanan (penyelesaian masalah) berada di luar diri dan sangat terbatas jumlahnya sehingga sedikit saja tersenggol oleh kepentingan atau keinginan orang lain akan membuat kita merasa sulit memaafkan orang tersebut seumur hidup. Kita menjadi cepat tersinggung dengan letupan amarah yang tidak terkontrol. Rasa takut yang negatif juga sering membuat pagar mental berupa ketakutan menghadapi tantangan yang merupakan risiko hidup. Kedua perasaan itulah yang kemudian menghasilkan kesimpulan rasa rendah diri (inferioritas) yang bisa ditampilkan dalam bentuk perilaku, sifat, atau sikap secara aggressive atau submissive.

Orang yang pede dalam arti 'self confidence' bukanlah orang yang tidak memiliki rasa takut atau rasa kurang tetapi ia memiliki kemampuan bagaimana menguasainya (self mastery) agar tetap berada dalam norma kadar yang bisa dikendalikan. Asumsi dasar yang digunakan berangkat dari perasaan memiliki kemampuan (self-sufficient) untuk mengatasi tantangan dan merealisasikan apa yang diinginkan. Rasa Percaya diri seperti inilah yang sebenarnya kita butuhkan. Bedanya lagi, pede yang terakhir adalah murni berupa pencapaian kualitas hidup yang diraih seseorang melalui proses usaha, sementara pede yang menyimpang bisa kita katakan sebagai limbah yang berarti untuk mencapainya tidak diperlukan proses atau usaha pun.

Di dalam diri kita sebenarnya sudah diciptakan kompas (patokan) yang dapat membedakan antara pede yang meyimpang dan pede yang benar-benar kita butuhkan, yaitu:

1. Perasaan (Emotional)
2. Hati (Spiritual)
3. Akal (Intellectual)

Ketiga kompas di atas adalah anugerah (kemampuan potensial). Agar bisa bekerja membantu kita dibutuhkan syarat yaitu menciptakan usaha untuk mencerdaskannya secara terus-menerus.
Perasaan adalah perangkat internal untuk merasakan impuls atau stimuli (godaan & tawaran) yang dapat membedakan bad dan good. Perasaan tidak memiliki mata tetapi lebih banyak memiliki telinga, 'pendengaran' sehingga ketika sensitivitasnya tajam (dicerdaskan) akan membuat orang langsung bisa merasakan mana pede yang good (confidence) di antara pede yang bad (egoism) meskipun tidak kelihatan.

Hati berfungsi untuk memaknai kebenaran hukum alam yang sudah diformalkan atau yang belum. Meskipun manusia bisa meng-elaborasi kebenaran menjadi sekian bentuk sesuai kepentingan masing-masing, tetapi hatilah yang akan berbicara dengan "suara hati kecil". Dilihat dari sebutannya saja sudah bisa ditebak mengapa kita jarang mendengarkannya. Sudah lokasinya di dalam, bentuknya kecil selain itu suaranya pun kecil. Kalau tidak dicerdaskan akan membuat telinga kita (perasaan) sulit mendengarkan suara hati apalagi penglihatan.

Akal berfungsi untuk menalar antara materi yang tepat (correct) dan yang tidak tepat (incorrect). Akal memiliki banyak penglihatan sehingga dikatakan 'the window', pintu exit-permit yang bisa menyumbangkan muatan perasaan atau keyakinan. Patut diakui di antara penyebab penyimpangan adalah adanya pengetahuan oleh akal yang tidak bisa menghasilkan pemahaman personal secara definitive antara rasa percaya diri dan egoisme. Pengetahuan yang rancau, abstrak, dan berada pada level umum sulit mendorong kita pada keputusan hidup yang definitif. Walhasil kita berperilaku egois karena egois yang kita pahami adalah egois dalam pengertian rasa percaya diri menurut kita.

Ketiga kompas internal di atas dapat bekerja secara proporsional (saling mendukung-melengkapi) apabila usaha yang kita jalankan dalam rangka mencerdaskan tidak terjadi anak-emas dan anak tiri atau anak yatim. Pengalaman mengajarkan, perlakuan dikotomis atas kompas internal di atas melahirkan sifat, watak dan perilaku yang kontradiktif dan pincang. Ada orang yang sebagian waktunya digunakan berada di tempat ibadah dengan khusuk tetapi giliran punya persoalan air dengan tetangga perasaannya tidak berfungsi secara proporsional.
Beberapa Saran

Penyimpangan adalah persoalan manusiawi dan normal tetapi yang sering bikin abnormal adalah kebablasan yang berkelanjutan dan tidak kita perbaiki. Beberapa materi pembelajaran berikut dapat kita jadikan acuan untuk mempertebal rasa percaya diri agar tidak menyimpang ke praktek yang tidak diinginkan :

1. Kebiasaan
Memiliki kebiasaan untuk mencerdaskan pikiran, perasaan, dan hati adalah kebutuhan mutlak. Tanpa dicerdaskan tidak berarti stabil sebab impuls dan stimuli dunia terus berubah di mana kalau kita tidak diiringi dengan perubahan diri akan mudah terjebak. Pikiran yang dicerdaskan dengan pengetahuan akan memperbaiki sudut pandang yang akan menjadi sumber rasa percaya diri. Perasaan yang dicerdaskan akan memperbaiki pemahaman 'merasakan' apa yang terjadi pada diri sendiri, orang lain dan dunia (wilayah kita). Hati yang dicerdaskan dengan kebiasaan memaknai akan mempertebal keyakinan bahwa semua yang kita lakukan baik atau buruk, kecil atau besar pada akhirnya akan mendapat balasan.

2. Kekuatan
Rasa percaya diri identik dengan kekuatan pribadi (personal power) yang bisa kita bangun dengan menggunakan dua jurus yaitu menyerang dan mempertahankan. Untuk mempertebal rasa percaya diri, jurus menyerang harus kita gunakan untuk melawan kecenderungan internal yang menawarkan godaan untuk menyimpang sementara jurus mempertahankan kita gunakan untuk memperkuat pertahanan dari serangan luar. Penggunaan yang salah dengan membalik fungsi akan memperlemah personal power yang berarti dapat memperlemah rasa percaya diri.

3. Komitmen
Memiliki komitmen untuk merealisasikan gagasan ke tindakan secara sirkulatif bisa mempertebal rasa percaya diri dengan syarat sampai mendapat apa yang disebut "the moment of truth" atau sampai benar-benar berhasil. Apa yang sering menjadi persoalan adalah kita sering menggunakan ideology "mencoba" tanpa komitmen sampai berhasil. Ideologi demikian sulit diharapkan bisa mempertebal rasa percaya diri. Bahkan kalau sering gagal lalu kita tinggalkan dengan mengganti yang lain dan akhirnya gagal juga malah akan membuat kita ragu-ragu.
Sekelumit penjelasan di atas hanyalah mewakili dari sekian tampilan monitor sikap, perilaku dan sifat yang awalnya dibedakan pada tingkat sumber motif di dalam. Tidak kelihatan, kecil, dan sering kita anggap tidak membahayakan bagi diri kita apalagi orang lain. Meskipun demikian, Tuhan telah memberikan perangkat yang bisa membenahi sebelum akhirnya tampil di monitor. Di luar ketiga perangkat yang sudah ada, terdapat satu perangkat yang inti, yaitu kemauan.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita yang membaca .Aamiin...


 

Inovasi Diri

Dalam bukunya "Only The Paranoid Survive" (Currency New York: 1996), Andy Grove menceritakan banyak hal tentang lingkungan bisnis, keputusan dan eksekusi yang dijalankan sehubungan dengan posisinya sebagai CEO dari Intel Co. Langkah Grove mengubah core business dari chip memory ke microprocessor dinilai banyak pihak sebagai kesuksesan bertindak. Sebelumnya, Intel dihadapkan pada banyak dilema menghadapi serangan produk Jepang yang telah lebih dulu menguasai pasar chip memory di samping juga dilihat dari resource usaha, manufaktur Jepang itu lebih kuat.

Saat itu Grove menghadapi tiga pilihan yang sama-sama tidak mudah. Pilihan pertama berupa "low cost strategy". Kalau ingin mengalahkan perusahaan Jepang, Intel harus banting harga. Pilihan kedua, kalau tidak sanggup banting harga, Intel harus bermain dalam ceruk pasar yang kecil, "Niche Market strategy". Inipun tidak gampang karena konsekuensinya berupa tuntutan pada stabilitas dan margin profit. Ketiga, innovasi produk. Kalau ingin menang, tuntutannya berupa memperbaiki produk supaya lebih terjangkau oleh pasar dengan kualitas lebih dan, yang paling penting, tidak gampang ditiru oleh manufaktur Jepang.

Intel akhirnya memilih pilihan ketiga. Pilihan tersebut ternyata tepat sehingga kemudian mengantarkan Grove dinobatkan "Man of the year" versi Time magazine, 1997. Inovasi Intel menurut pendapat Grove diawali dari keberanian eksperimentasi dan fleksibilitas dalam menjalankan perubahan produk. Saat itu dinilai tidak cukup bagi Intel hanya mengandalkan strategi "clear vision" dan "stable" tetapi perlu mengubah konsep berpikir. Seperti diakui Grove: "If company is experiencing rigidity in thinking and resistance to change, that company will not survive in high speed global market place".

Belajar dari langkah Grove yang memulai kesuksesannya dengan menggunakan kata kunci inovasi, rasanya tidak salah kalau kata kunci itu kita gunakan untuk mengawali kesuksesan dalam konteks pengembangan diri.  Kenyataannya, sekedar inovasi semata sudah tak terhitung yang memahami dan mempraktekkannya baik di tingkat organisasi atau pribadi, tetapi kebanyakan mandul atau gagal. Lalu agar tidak gagal, format pemahaman inovasi seperti apakah yang mestinya digunakan?

Menyeluruh
Kasarnya, bicara ide cemerlang tentu dapat ditemukan di kepala banyak orang atau organisasi, tetapi inovasi tidak berhenti pada ide cemerlang. Tidak pula berupa tindakan yang semata-mata berbeda dengan orang lain sebab inovasi bukan sebuah konsep tunggal dalam arti berubah hanya untuk sekedar berubah (change for the sake of change). Inovasi yang sesungguhnya adalah inovasi yang dipahami sebagai pelaksanaan konsep secara menyeluruh mencakup komponen dan segmennya. Mengacu pada pendapat Beth Webster dalam "Innovation: we know we need it but how do we do it" (Harbridge Consulting Group: 1990), inovasi adalah menemukan atau mengubah materi pekerjaan atau cara menyelesaikan pekerjaan secara lebih baik. Dengan definisi ini inovasi mengandung dua komponen: yaitu penemuan (invention), dan pelaksanaan (implementation), dimana pada tiap komponen terdiri atas empat segmen:

· Kreativitas - Generating new ideas
· Visi - Knowing where you want to get with it
· Komitmen - Mobilizing to get there
· Manajamen - Planning and working to get there

Menjalankan inovasi diawali dari eksplorasi untuk menemukan sesuatu yang baru dalam bentuk yang lebih tanpa meninggalkan perangkat lama yang masih baik. Tidak berhenti pada menemukan ide lebih baik, inovasi menuntut langkah berikutnya berupa pelaksanaan uji-realitas. Dalam kasus Intel, Grove menamakannya dengan istilah keberanian eksperimen. Pantas diberi embel-embel keberanian karena eksperimentasi punya resiko paling tinggi terhadap kegagalan sehingga dalam prakteknya banyak orang mengatakan TIDAK terhadap inovasi karena rasa takut menerima resiko itu.
Selain resiko kegagalan, hambatan di tingkat konsep, praktek, strategi, tekhnis, diri sendiri dan orang lain juga kerap muncul. Untuk menciptakan solusi yang dibutuhkan, maka kreativitas para innovator berperan. Kreativitas solusi ini diwujudkan dalam bentuk jumlah alternatif solusi terhadap situasi dengan cara mengubah, mengkombinasikan, mengindentifikasi celah destruktif dari sesuatu yang sudah mapan (established). Menurut riset ilmiah, kuantitas solusi alternatif punya korelasi dengan kualitas solusi. Jadi kreativitas bertumpu pada kemampuan memiliki pola baru dalam melihat hubungan antar obyek yang dilahirkan dari sudut pandang adanya "possibility", dan mempertanyakan sesuatu untuk memperoleh jawaban lebih baik. Seorang pakar kreativitas, Arthur Koestler, mengatakan: "Every creative act involve a new innocent of perception, liberated from cataract of accepted belief".

Dalam menjalankan kreativitas menciptakan solusi, innovator perlu memiliki kemampuan menyalakan lampu petunjuk yaitu visi - having clear sense of direction. Artinya, bentuk inovasi seperti apakah yang dilihat secara jelas oleh imajinasi innovator? Semakin jelas padanan fisik dari tujuan inovasi bisa disaksikan oleh penglihatan mental, maka akan semakin menjadi obyek yang satu atau utuh. Kembali pada pengetahuan tentang pikiran yang baru akan bekerja kalau difokuskan pada obyek utuh, kalau obyeknya masih terpecah tidak karuan, dengan sendirinya pikiran memilih untuk diam atau kacau. Bagaimana mengutuhkan obyek sasaran dalam kaitan dengan kemampuan visualisasi ini?
Merujuk pada pendapat Shakti Gawain dalam "Creative Visualization" (Creating Strategies Inc.: 2002), para innovator perlu melewati empat tahapan proses untuk menajamkan visinya, yaitu:

1. Memiliki tujuan yang jelas
2. Memiliki potret mental yang jelas dari sebuah obyek yang diinginkan
3. Memiliki ketahanan konsentrasi terhadap obyek atau tujuan
4. Memiliki energi, pikiran, keyakinan positif

Di atas dari semua komponen dan segmen di atas, roh dari inovasi adalah komitmen yang membedakan antara "make or let things happen". Inovasi menuntut komitmen pada "make", bukan membiarkan ide cemerlang menemukan jalannya sendiri di lapangan. Komitmen adalah menolak berbagai macam "excuses" yang tidak diperlukan oleh inovasi. The show must go on. Mengutip pendapat Ralp Marlstone tentang komitmen dikatakan: "Anda tidak bisa menciptakan 'living' hanya dengan ide, kreativitas, visi, melainkan 'you must live' WITH them". Senada dengan Ralp, Joel Barker mengatakan "Vision WITH action can change the world".

Menjalankan ide innovative sebagai pemahaman komprehensif menuntut aplikasi prinsip manajemen yang berarti menggunakan sumber daya di luar kita sebagai kekuatan berdasarkan keseimbangan riil antara size of planning dan ability of working. Tanpa aplikasi manajemen, sumber daya yang berlimpah di luar sana bisa tidak berguna atau malah menjadi penghambat atau sia-sia. Salah satu keahlian manajemen adalah komunikasi. Tak terbayangkan kalau kerjasama apapun tidak diimbangi dengan kemampuan komunikasi yang dibutuhkan. Contoh lain yang menggambarkan pentingnya keseimbangan dalam menjalankan inovasi adalah fenomena kekecewaan atau kegagalan proposal kerja sama. Dari sudut gagasan, kreativitas, visi, semuanya cemerlang. Tetapi begitu disepakati untuk dijalankan, ternyata masih banyak celah lobang yang belum atau masih di luar kapasitas masing-masing pihak menciptakan solusi. Atau dengan kata lain lebih gede planning for success ketimbang ability of working for success.

Alasan
Menemukan alasan mengapa kita merasa perlu untuk menjalankan ide innovative untuk memperbaiki kehidupan pribadi atau organisasi merupakan bagian penting dari inovasi itu sebelum dijalankan. Sebagian dari alasan itu antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Perubahan
Dunia ini tidak akan berbeda dengan perubahan yang secara take for granted akan terjadi. Setiap perubahan eksternal menuntut ketepatan memilih respon yang tepat di tingkat internal. Inilah pilihan dari pemahaman hidup yang harus dipegang. Sayangnya sering ditemukan bahwa orang lebih tertarik untuk membicarakan kemajuan yang diciptakan perubahan dunia luar tanpa dibarengi dengan keingian kuat untuk mengubah diri. Sikap resistance to change yang membabi buta ini pada giliran tertentu akan mengantarkan pada posisi sebagai korban perubahan zaman atau tidak mendapat benefit dari kemajuan.
Contoh sepele adalah penguasaan bahasa asing, katakanlah bahasa Inggris. Dahulu menjadi rukun profesi dalam arti bagian atau rungan tersendiri dari sebuah profesi. Tetapi sekarang tidak bisa dipungkiri telah menjadi syarat masuk pintu gerbang yang berarti harus dimiliki oleh semua calon profesi. Mengantisipasi tuntutan perubahan dunia luar,langkah penyelamat yang menjamin adalah mendirikan lembaga learning di dalam diri kita. Materinya bisa diadopsi dari mana saja tergantung kebutuhan dan kemampuan berdasarkan tuntutan lingkungan di mana kita berada.

2. Keterbatasan
Melakukan inovasi diri harus diberangkatkan dari pemahaman bahwa manusia memiliki kemampuan tak terbatas kecuali batasan yang diciptakan sendiri (self-fulfilling prophecy). Kaitannya dengan inovasi adalah, kemampuan kita merupakan garis pembatas pigura hidup, dan inovasi dibutuhkan dalam rangka memperluas garis pembatas pigora itu. Selain dibutuhkan pemahaman dari dalam juga tidak kalah penting peranan "pil" pemahaman yang disuntikkan oleh pihak luar, meskipun dalam bentuk tawaran memilih. Praktekknya tidak sedikit orang yang meyakini wilayah ‘pigura hidup’-nya bertambah setelah minum pil pemahaman dari sosok yang diyakini lebih terpercaya, misalnya saja paranormal, dukun, penasehat, konsultan, sahabat karib, dll.
Pil pemahaman dari luar inilah yang oleh Dale Carnegie disebut Kelompok Ahli Pikir. Selama pil yang diberikan berupa pil miracle, tentu saja akan sangat dibutuhkan sebab secara alami orang sangat sensitif terhadap pemahaman orang lain tentang dirinya. Justru yang patut disayangkan adalah kalau pil itu berupa stigma killer lalu diterima mentah-mentah, misalnya saja: pasti gagal, rasanya sulit, kayaknya tidak mungkin dll. Oleh karena itu Mark Twain berpesan: "Jauhkan diri anda dari kelompok orang atau komunitas yang membuat ambisi anda menurun yang biasanya dilakukan oleh pribadi yang kerdil".

3. Kesenjangan
Alasan lain mengapa inovasi dibutuhkan adalah kenyataan alamiah berupa terjadinya kesenjangan antara alam idealitas dan realitas. Wujud pengakuan fakta alamiah itu harus dibuktikan dengan perbaikan di tingkat realitas dan perubahan format alam idealitas. Seperti kata pepatah, "Gantungkan cita-citamu di langit tetapi jangan lupa kakimu menginjakkan bumi". Maksudnya, terus ciptakan standard yang lebih tinggi dari yang optimal bisa diraih. Bisa dibayangkan, seandainya semua manusia cukup "berpuas-diri", dengan apa yang ada dalam pengertian 'low quality', maka pasti kemajuan sulit diciptakan. Selain itu akan memudahkan orang terkena virus putus asa, berpikir only one answer, bersikap perfectionist yang berarti bertentangan dengan prinsip dasar inovasi.
Sulit dielakkan, kenyataannya terdapat kecenderungan budaya konformitas berupa ketakutan psikologis untuk bercita-cita tinggi yang dijustifikasi oleh pola berpikir realistik yang keliru dalam arti tidak mencerminkan semangat pengembangan diri ke arah lebih baik. Mestinya, berpikir realistik diartikan menginjak di atas realitas, tidak sebaliknya hidup di dalam realitas. Didasarkan pada pemahaman yang berbeda ini maka terjadi kenyataan yang berbeda. Kendaraan yang berjalan di atas jalan raya dapat diarahkan kemana pun tetapi ketika terperosok di dalam lumpur, pilihannya hanya dientaskan ke atas.

Perlu dicatat bahwa semua alasan yang sudah disebutkan di atas didasarkan pada: 1) perspektif bahwa hidup adalah proses; dan 2) menjalankan Learning Principle yang merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan dari asset potential menjadi asset aktual. Oleh karena itu alasan personal lain, apapun yang kita miliki, tuntutan paling penting tetap pada menemukan alasan yang punya korelasi kuat terhadap tindakan yang memiliki akses pada perubahan situasi. Begitu situasi sudah dapat diubah menjadi lebih baik berarti kita sudah melangkahkan kaki pada tujuan akhir dari inovasi yang berarti awal untuk memulai perubahan lain ke arah yang bertambah baik.
That is the process. Semoga bermanfaat.